(Kewibawaan, Kewiyataan, Keteladanan, Penguatan, tindakan Tegas yang Mendidik)
Pendidik dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 didefinisikan dengan tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Pendidik yang merupakan pembahasan dalam penelitian ini adalah guru. Dalam keseharian kata “guru” dipakaikan untuk seseorang yang bertugas sebagai pendidik pada sekolah dasar sampai tingkat menengah.
Guru memiliki berbagai tugas selain sebagai pengajar juga sebagai pembimbing, pelatih, pembina, teman dan orang tua dari siswa. Membimbing adalah wewenang dan tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran Depdikbud (1995:8). Tugas yang dilakukan guru tersebut secara umum sering dikatakan sebagai pengajar dan pendidik saja. Lebih jauh Dimyati dan Mudjiono (1998:238) menjelaskan bahwa guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa. Tugas mendidik ini merupakan hal yang berat bagi guru, karena ia berkaitan dengan penanaman nilai, etika dan moral bagi anak/siswa.

Dalam proses pembelajaran menurut Depdikbud (1995:10), guru selain menggunakan alat pembelajaran dan bimbingan, Lebih jauh Prayitno (2003) mengatakan bahwa; guru juga menggunakan alat pendidikan dalam proses pembelajaran, yang akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan peserta didik sehingga memungkinkan peserta didik tercegah dari berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran.

 

Fungsi pencegahan, menurut Syahril dan Riska Ahmad (1986:59) adalah usaha yang dilakukan untuk tidak timbulnya hambatan/gangguan terhadap upaya pengembangan potensi siswa. Tujuan pencegahan menurut George Albee (dalam Prayitno & Erman Amti 1999:203) adalah untuk; (1) menghindari kondisi bermasalah pada diri siswa, (2) menurunkan faktor organik stres pada diri siswa, dan (3) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penilaian terhadap diri sendiri oleh siswa.
Studi yang dilakukan di Michigan, Philadelphia tentang anak yang ditelantarkan dan pengangguran memperlihatkan bahwa penyesuaian sosial mereka yang lebih baik serta pengendalian diri mereka lebih tinggi. Horner & McElhaney, Burns & Consolvo (dalam Prayitno 1992:205). Sedangkan program pencegahan bahaya alkohol, dan pencegahan bahaya AID, memperlihatkan bahwa program pencegahan membawa pengaruh positif, sehigga mereka mampu merencanakan hidup lebih baik dan lebih mampu mencari pekerjaan yang lebih baik dan besar bayarannya. House & Walter (dalam Prayitno 1993:205).
Sehubungan dengan fungsi pencegahan di atas, Prayitno dan Erman Amti (1999:203) menyatakan bahwa guru diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang baik yang akan memberikan pengaruh positif terhadap individu siswa. Oleh karena itu, lingkungan pembelajaran harus dipelihara dan dikembangkan. Data Balitbangdiknas (2002), bahwa kondisi ruang belajar nasional yang baik hanya 49,49 SD/SLTP dan 66,33 SLTA selebihnya masih kurang, hubungan guru dan murid yang kurang serasi, semuanya akan menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam memperkembangkan dirinya secara optimal di sekolah. Studi yang dilakukan IKIP Surabaya 1995 (dalam Dirjen Dikdasmen 2004:9) menyimpulkan bahwa; siswa mengulang kelas disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mengikuti proses pembelajaran di kelasnya disebabkan (1) pola pembelajaran kurang menarik, (b) bekal awal/prasyarat belajar kurang memadai (c) sarana yang dimiliki siswa dan sekolah kurang memadai. Dari sudut “pencegahan”, pola, sarana, dan suasana pembelajaran sebagaimana tersebut di atas perlu diperhatikan dan diperbaiki. (Dirjen Dikdasmen 2004:9)
Salah satu usaha guru dalam memperbaiki lingkungan sekolah tersebut di atas agar memberikan pengaruh yang membimbing kepada siswa adalah melalui penerapan alat-alat pendidikan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, Prayitno (2003) menyebutkan lima alat pendidikan yakni: kewibawaan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan, dan ketegasan yang mendidik (membimbing). Alat-alat pendidikan tersebut, sekaligus dapat digunakan guru sebagai alat membimbing siswa dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar tersebut menyenangkan bagi siswa dan memotivasinya untuk lebih giat dalam belajar.
a.   Kewibawaan
Upaya untuk mencapai keberhasilan belajar mengajar di sekolah ditunjang oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kewibawaan. Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin direalisasikan. Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi.
Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya.
T. Raka Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi: (a) penguasaan materi yang mantap, (b) sepenuh hati menyukai bidangnya, (c) menguasai pelbagai strategi pembelajaran, (d) mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual (e) mengutamakan standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan (f) dekat dan suka bergaul dengan siswa. Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya.
Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik. Menurut T. Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan dilakukan.
Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Hubungan antara pendidik dan peserta didik haruslah mengarah kepada tujuan-tujuan instrinsik pendidikan, dan terbebas dari tujuan-tujuan ekstrinsik yang bersifat pamrih untuk kepentingan pribadi pendidik. Lebih jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik. Sejalan dengan itu, Muhibbin Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.
Syaiful Bahri Jamarah (1994:64) mengemukakan:
Wibawa dan citra guru harus ditegakkan, namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa kenyataan citra guru berubah sesuai perubahan sosiokultural masyarakat, sehingga citra guru larut dalam perubahan. Tentu yang perlu dipikirkan bahwa perubahan sosiokultural akan terus berlanjut, gurupun perlu mengambil hikmahnya dan menerima perubahan tersebut dari segi-segi positifnya, agar citra guru berubah kearah yang lebih baik sehingga tidak merusak citra dan wibawa guru.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan adalah merupakan tonggak utama yang harus dimiliki seorang guru sebagai pendidik dan pembimbing. Dengan kewibawaan yang dipunyai guru berarti memiliki kemampuan lebih, berpenampilan menarik, mempunyai kekuatan dan keahlian yang berhubungan dengan pembelajaran yang meliputi: penguasaan materi pelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedekatan dengan siswa, bertanggungjawab dan sungguh-sungguh, sehingga dengan demikian guru akan dijadikan sebagai panutan, contoh, bapak, dan teman yang disegani oleh siswa. Maka guru yang memiliki wibawa dalam pembelajaran akan mengutamakan pembelajarannya lebih bersifat sosial-psikologis-akademik; bukan material-ekonomis-fisik; intensitas pembela-jaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, tidak terkesan memanjakan (karena terlalu banyak) atau mengabaikan (karena terlalu sedikit).
b.Kewiyataan (kasih sayang dan kelembutan)
Dalam proses pembelajaran di kelas, Jalaluddin Rahmat (1985:53) menyatakan bahwa:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut: (1) sikap percaya, (2) sikap sportif, dan (3) sikap terbuka. Dengan adanya sikap percaya, sportif dan terbuka akan mengarah kepada hubungan atau interaksi pembelajaran yang menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati yang pada akhirnya akan bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Puskurbangdik (2002) guru diharapkan mewarnai proses pembelajaran dengan menyenangkan, sifat rasa kasih sayang, kelembutan, dan suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik. Menurut (Benjamin Spock 1982:58), kasih sayang dan kelembutan akan mendorong lusinan tindakan yang spontan dan produktif dari peserta didik.
Sehubungan dengan kasih sayang dan kelembutan, Prayitno (2002) menyatakan bahwa;
dapat terwujud melalui ketulusan, penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap siswa sebagai pribadi. Hal itu semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi, kemunafikan, atau kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung, nyata atau terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan peserta didik.
Menurut Watten B. (dalam Sahertian 1994) bahwa guru adalah pembawa rasa kasih sayang, pembina dan pemberi layanan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhhamad Suwaid (2002:41) bahwa; kasih sayang dan sikap lemah lembut, dan ramah yang dimiliki guru, akan membuat peserta didik mendapatkan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Perasaan menyenangkan dan suasana penuh keakraban dalam proses pembelajaran menurut Fuad bin Abdul Aziz Al-Syaihub (2005:26) akan mengusir kebosanan dan memberikan sedikit rasa segar kepada siswa dan merubah suasana kering menjadi hangat dan santai.
Dari pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, apabila telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta antara guru dan siswa akan menimbulkan rasa percaya, terbuka, menghormati dan menghargai guru. Dengan demikian kasih sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang didapatkan siswa merupakan bentuk bimbingan dari guru, akan mampu merangsang siswa untuk memberikan reaksi posistif, tindakan-tindakan kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam mencapai kemandirian, khususnya belajar.
c.Keteladanan
Menciptakan sumber daya manusia (siswa) yang berkualitas, guru dituntut menjadi sosok yang ideal.. Guru diharapkan sebagai sosok yang dapat “digugu” dan “ditiru” Supriadi (dalam Hadiyanto 2004:11). Dalam proses pembelajaran dewasa ini keteladanan guru terhadap siswa baik dalam bersikap maupun bertutur kata semakin menurun, Menurut Prayitno (2002:23), hal ini tidak boleh terjadi, karena keteladanan guru terhadap diri siswa ini pada awalnya dimulai melalui proses peniruan siswa terhadap guru yang menjadi panutan mereka.
Menurut Moh. Uzer Usman (1995:13), guru harus senantiasa memberikan keteladan yang baik kepada peserta didik. Lebih jauh Ghouzali Saydam (1996:414) menyatakan bahwa ketauladanan sangat penting dalam pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia. Peranan ketauladanan amat menentukan keberhasilan seorang guru terhadap peserta didiknya.
Prayitno (2002:23) menyatakan bahwa siswa cenderung meniru pendidik yang sukses. Pendidik sukses adalah teladan bagi peserta didik. Lanjut Charles Schaefer (1996:16) bahwa:
Anak-anak merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh teladan dapat lebih efektifr daripada kata-kata, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berari menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.
Pendidik sukses menurut Prayitno (2002:23), perlu menjalankan berbagai peran yang keseluruhannya tertuju kepada keberhasilan peserta didik. Oleh karena itu, menurut Wens Tanlain dkk. (1996:54), guru diharapkan dapat menampilkan prilaku yang dapat dijadikan sebagai contoh, panutan dan keteladanan bertingkahlaku bagi siswa dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Posisi guru faktor penting/utama dalam proses pembelajaran. Seperti pernyataan Hadi Supeno (1999:39) guru secara umum tetap memegang sentral utama dalam proses pendidikan persekolahan, walaupun dalam proses pendidikan modern siswa lebih banyak belajar mandiri. Kehadiran guru sebagai tokoh, panutan dan keteladanan serta pembimbing tidak dapat diganti dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas, adalah bahwa keteladan guru dalam pendidikan/proses pembelajaran, merupakan hal yang mutlak adanya ditinjau dari segi penampilan, cara berpakaian, bersikap, tutur bahasa atau perkataannya, kedisiplinan dan tanggungjawab. Dalam arti menyangkut perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru dalam keseharian, terutama tentunya dalam proses pendidikan.
d.  Penguatan
Dalam proses pembelajaran, penguatan atau reinforcement adalah sesuatu hal yang penting dalam memberikan motivasi yang lebih kuat pada siswa. Ellis (1978:20) mendefinisikan reinforcement sebagai berikut: A reinforcer is any event which, when occurring in close temporal relationship to a response, increases the likelihood that the response will be repeated in the future. Penguatan adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentangan waktu yang terdekat untuk meningkatkan kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan.
Sama dengan yang dikemukakan Prayitno (2002:34) bahwa:
Penguatan (reinforcement) merupakan upaya untuk mendorong diulanginya lagi (sesering mungkin) tingkah laku yang dianggap baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan dengan pertimbangan: tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya.
Lefrancois (1994), menyatakan bahwa secara umum ada dua bentuk penguatan atau reinforcement yaitu reinforcement positif dan negatif. Wolfolk (1995) juga menyatakan bahwa reinforcement kepada siswa dalam proses pembelajaran dapat diberikan melalui perhatian yang memadai dari guru kepada siswa. Reinforcement juga dirasakan penting terutama dalam proses pembelajaran sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Roger (1990) bahwa reinforcement dan pemberian respon merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran terhadap siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa reinforcement yang diberikan kepada siswa baik positif maupun negatif dengan prosedur yang tepat akan dapat memberikan manfaat dalam proses pembelajaran siswa.
Selain hal di atas, dalam proses pembelajaran guru juga tidak terlepas dari penerapan prinsip-prinsip belajar. Dimyati & Muljiono (1999:42) menyebutkan prinsip belajar antara lain adalah: 1) perhatian dan motivasi, 2) keaktifan, 3) keterlibatan langsung/pengalaman, 4) pengulangan, 5) tantangan, 6) balikan dan penguatan, 7) perbedaan individu. Implikasi prinsip belajar tersebut bagi guru adalah pemberian perhatian dan motivasi sebagai penguatan bagi diri individu (siswa) terhadap prestasi maupun hal-hal positif yang telah dilakukan atau dicapainya.
Kesimpulan, bahwa guru yang membimbing adalah guru yang mampu memberikan penguatan secara tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya pada siswanya. Dalam arti kapan, siapa siswanya dan hal seperti apa yang seharusnya diberikan penguatan secara posistif; dalam arti agar siswa tersebut mengulangi dan mempertahankan hal-hal baik yang telah diperolehnya, dan memberikan penguatan negatif; agar siswa meninggalkan hal-hal negatif dan berupaya melakukan perbaikan kepada hal-hal yang positif. Sehingga siswa merasa diperhatikan, dibimbing, diarahkan dan dimotivasi untuk melakukan tindakan pengembangan, pengayaan dan perbaikan (remedial) untuk dirinya.
e.  Tindakan tegas yang mendidik
Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya diabaikan atau dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani atau diberikan tindakan tegas secara proporsional. Menurut Thomas Amstrong (2003:160) yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan tindakan terhadap kondisi yang berbeda dari setiap siswa. Menurut Wens Tanlain dkk. (1996:56) tindakan tegas mendidik dapat berupa teguran dan hukuman. Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku yang tidak sesuai dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan anak didik dari tingkah laku kurang tepat serta akibatnya. Masih menurut Wens Tanlain dkk. (1996:57), hukuman adalah merupakan alat pendidikan istemewa sebab membuat anak didik menderita. Hukuman diberikan pada siswa karena melakukan kesalahan, agar siswa tidak lagi melakukannya.
Pelaksanaan hukuman sebaiknya dihindari. Menurut Davis (1989:65) hukuman dapat menyakitkan secara fisik maupun psikologis. Lebih jauh Hasan Langgulung (1995:44) mengatakan bahwa hukuman jasmani telah dikritik pendidik modern, karena menimbulkan kebencian murid kepada guru. Syaiful Bahri Jamarah (1994:47) menegaskan bahwa hukuman yang tidak mendidik adalah berupa memukuli siswa yang bersalah hingga mengalami luka. Tindakan tidak mendidik ini konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah.
Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.
Tindakan tegas guru terhadap pelanggaran atau kesalahan terhadap peserta didik (siswa) perlu dilaksanakan. Dikatakan Charles Schaefer (1996:113) makin cepat anak menerima sanksi (hukuman) sesudah satu tingkah laku, maka makin efektif sanksi-sanksi itu mengubah tingkah laku itu. Lebih jauh Benyamin Spock (1982:259) menyatakan bahwa tindakan semacam itu akan mampu membentuk watak siswa yang memiliki budi pekerti baik. Kalau guru telah segan bertindak tegas terhadap siswa maka kewibawaan mereka akan berkurang.
Menurut Thomas Amstrong (2003:161) ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menangani perilaku siswa yaitu: (a) bicara kepada siswa, (b) memberikan contoh atau teladan bagi siswa, (c) sediakan konseling pribadi, (d) buat konseling bersama teman-teman sebaya, dan (e) kembangkan kontak pribadi guru dengan siswa.
Kesimpulan, bahwa tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, perlu dilaksanakan dengan pendekatan yang bermuatan pendidikan agar dapat mendorong si pelanggar untuk menyadari kesalahannya dan memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan itu tidak terulang lagi. Penggunaan tindakan tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap menyuburkan kasih sayang, dapat menyadarkan siswa akan kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.