MENJELANG Hari Raya Idul Adha 1431 H (tahun ini), di kalangan masyarakat awam beredar pertanyaan mengapa akan terjadi perbedaan antara Muhammadiyah, NU, pemerintah, dan Arab Saudi dalam penentuan 1 Dzulhijjah 1431 H yang berdampak perbedaan penetapan tanggal 10 Dulhijjah sebagai hari raya Idul Adha. Pertanyaan ini wajar ramai dibicarakan karena jauh-jauh hari Kementerian Agama RI dalam hal Dirjen Bimas Islam Prof Dr H Nazaruddin Umar MA menyatakan bahwa Idul Adha tahun ini berpotensi terjadi perbedaan antara Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, pemerintah, dan Arab Saudi (Media on line, Jumat, 22 Oktober 2010).


Perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU dan pemerintah bahkan kiranya sudah terbaca dengan jelas dalam sidang tim pakar hisab rukyah Indonesia yang tergabung dalam Badan Hisab Rukyah RI yang pada tanggal 2 November 2010 melakukan rapat bersama. Dan secara resmi pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI melakukan penetapan resmi setelah sidang isbat 1 Idul Adha 1431 H yang dilaksanakan pada tanggal 6 November 2010. Perbedaan penetapan bulan Qamariyah yang berkaitan dengan ibadah yakni penetapan awal-akhir Ramadan dan awal Dzulhijjah di Indonesia memang biasa terjadi.

Bahkan Snouck Hourgronje pernah menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda, ”Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan penetapan awal dan akhir puasa (dan penetapan Idul Adha). Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung- kampung berdekatan” (Tempo, 26 Maret 1994). Pertanyaan Snouck Hourgronje tersebut tidaklah berlebihan, karena memang banyak sekali aliran pemikiran yang berkaitan dengan penetapan tersebut.

Aliran pemikiran itu muncul karena perbedaan pemahaman dasar hukum hisab-rukyat yang masih mujmal yakni hadis ”Shumu lirukyatihi wa afthiru lirukyatihi.” Bahkan, persinggungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition menumbuhkan aliran tersendiri, dalam hal ini sebagaimana munculnya aliran hisab Jawa Asapon dan hisab Jawa Aboge.

Secara keseluruhan aliran pemikiran yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Qamariyah termasuk Idul Adha adalah sebagai berikut. Pertama, aliran hisab wujudul hilal. Aliran ini berprinsip jika menurut perhitungan (hisab), hilal dinyatakan sudah di atas ufuk, hari esoknya dapat ditetapkan sebagai tanggal baru tanpa harus menunggu hasil melihat hilal pada tanggal 29. Prinsip tersebut selama ini dipegang oleh Muhammadiyah.

Kedua, aliran rukyat dalam satu negara (rukyah fi wilayatil hukmi). Prinsip aliran ini berpegang pada hasil rukyat (melihat bulan tanggal satu) pada setiap tanggal 29. Jika berhasil melihat hilal, hari esoknya sudah masuk tanggal baru. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, bulan harus disempurnakan 30 hari (diistikmalkan) dan hanya berlaku dalam satu wilayah hukum negara.

Keberadaan hisab dipergunakan sebagai alat bantu dalam melakukan rukyat. Prinsip ini yang dipegangi Nahdlatul Ulama selama ini. Ketiga, aliran hisab ”imkanurrukyah” (hisab yang menyatakan hilal sudah mungkin dapat dilihat). Inilah aliran yang dipegangi pemerintah dengan standar imkanurrukyah 2 derajat dari ufuk. Keempat, aliran rukyat internasional atau rukyat global yang berprinsip jika di negara mana pun menyatakan melihat hilal, maka hal itu berlaku untuk seluruh dunia tanpa memperhitungkan jarak geografis.

Aliran tersebut yang selama ini di Indonesia dikembangkan oleh Hizbut Tahrir. Kelima, aliran hisab Jawa Asapon yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang diperbaharui dengan ketentuan Tahun Alif jatuh pada Selasa Pon. Aliran ini dianut oleh Keraton Yogyakarta. Keenam, aliran hisab Jawa Aboge yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang lama dengan ketentuan Tahun Alif jatuh pada Rabu Wage. Aliran ini yang dianut oleh mayoritas pemeluk Islam Kejawen seperti di Dusun Golak Ambarawa Kabupaten Semarang.

Ketujuh, aliran mengikuti Makah yang berprinsip kapan Makah menetapkan, maka penganut aliran ini mengikutinya. Melihat fenomena semacam ini, sangatlah arif ketika terjadi perbedaan, maka dalam rangka mengembangkan sikap berdemokrasi yang baik, kita perlu mengembangkan sikap agree in disagreement (ittifaq fil ikhtilaf) sebagaimana dilontarkan oleh guru bangsa kita, mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid.

Prediksi penentuan
Menurut perhitungan (hisab) kontemporer, ijtima akhir Dzulqa’dah 1431 tejadi pada hari Sabtu, 6 November 2010 pada pukul 11.52 WIB (pukul 04.52 GMT). Di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke ketinggian hilal masih di bawah 2 derajat, dan bulan terbenam sekitar 7 menit dari terbenam matahari.

Berdasarkan data hisab tersebut, Muhammadiyah dengan prinsip hisab wujudul hilal tetap jauh-jauh hari berani menyatakan bahwa awal Dzulhijjah 1431 H jatuh pada Ahad, 7 November 2010 dan Idul Adha 1431 dan ditetapkan pada Selasa, 16 November 2010. Ini tidak keliru, karena menurut hisab memang hilal sudah di atas ufuk. Sehingga sunah puasa tarwiyah pada Minggu, 14 November, puasa arafah pada hari Selasa, 15 November dan pelaksanan ibadah kurban disunahkan sampai pada tanggal 19 November 2010.

Sedangkan Nahdlatul Ulama dan pemerintah karena dengan pertimbangan hilal tidak mungkin dilihat dan memang tidak berhasil merukyat, walaupun sudah di atas ufuk, maka pemerintah dan Nahdlatul Ulama akan menetapkan bulan Dzulqa’dah 1431 H harus disempurnakan 30 hari dan awal Dzulhijjah 1431 H baru ditetapkan pada Senin, 8 November 2010, sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, 17 November 2010. Sedangkan sunah puasa tarwiyah pada senin, 15 November 2010, puasa arafah pada hari Selasa, 16 November 2010.

Sedangkan aliran rukyah global yakni Universal Hejri Calendar (UHC) yang merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180’ BT ~ 20’ BB sedangkan Zona Barat meliputi 20’ BB~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).

Berkaitan dengan kemungkinan terjadi perbedaan penetapan Idul Adha tersebut, yang terpenting adalah kita memegang pemahaman sebagai dengan keyakinannya masing- masing, karena ini masalah ijtihadiyyah, di mana tiap-tiap aliran pemikiran mempunyai dasar ijtihad sendiri. Dengan demikian mengembangkan sikap agree in disagreement (ittifaq fil ikhtilaf) kiranya sangat perlu kita kembangkan.

Sehinggga bagi yang meyakini berdasarkan hisab wujudul hilal (yang dipegangi Muhammadiyah), maka awal Dulhijjah 1431 H jatuh pada Ahad, 7 November 2010 berarti dapat melaksanakan sunah puasa Tarwiyah pada Ahad, 14 November, puasa Arafah pada Senin, 15 November dan merayakan Hari Raya Idul Adha pada Selasa, 16 November 2010 dan kesunahan waktu penyelembihan kurban sampai tanggal 19 November 2010.

Yang meyakini berdasarkan rukyat (yang dipegangi Nahdlatul Ulama) dan hisab imkanurrukyah (yang dipegangi Pemerintah), maka awal Dulhijjah 1431 H jatuh pada Senin, 8 November 2010, yang berarti dapat melaksanakan puasa tarwiyah pada Senin, 15 November 2010, puasa Arafah pada Selasa, 16 November 2010 dan merayakan Hari Raya Idul Adha pada Rabu, 17 November 2010 dan waktu penyembelihan kurban sampai tanggal 20 November 2010. Wallahu a’alam bishshawab.

H Ahmad Izzuddin MAg Dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Kandidat Doktor PPs IAIN Walisongo, sedang mengikuti shortcourse di Nasional University of Singapore (NUS)

 

Sumber:http://syariah.stainkerinci.info/