Oleh Jalius Jama

 

Program pendidikan guru dalam waktu dekat ini akan mengalami perubahan. Pada sistem lama, materi yang berkaitan dengan kependidikan diberikan bersamaan dengan materi bidang studi sejak awal perkuliahan selama delapan semester. Sistem ini disebut concruent. Mulai tahun 2010, para calon guru juga direkrut dari lulusan perguruan tinggi non-kependidikan dan dilatih selama dua semester untuk menjadi guru dengan penekanan pada praktek. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sistem lama dianggap gagal? Apakah sistem baru memang lebih unggul? Kenapa tidak dipakai keduanya?

Jika tidak ada perubahan dari sistem lama ke sistem yang baru, tentu ini ibarat membeli obat baru yang belum tentu cocok dengan penyakit. Obatnya bernama Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun jenis penyakitnya belum diketahui. Dalam sistem baru tersebut, para lulusan Lembaga Peruruan Tinggi Kependidikan (LPTK) mendapat perlakuan yang sama dengan lulusan perguruan tinggi non-kependidikan. Program studi penyeleggara adalah Program Studi (Prodi) yang lulus akreditasi oleh tim asesor atau dianggap layak dan mampu menyelenggarakan program PPG.

 

 
Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya kebijakan pendidikan di negara kita bukanlah berawal dari pemikiran kebijakan oleh para pakar dari universitas, tetapi lebih banyak turun dari atas. Setelah itu, kebijakan tersebut dibuatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) atau menjadi Peraturan Menteri (Permen), sedangkan pihak sekolah termasuk universitas tinggal melaksanakan sesuai petunjuk dari atas.
 
Di berbagai negara maju, sistem pendidikan guru menganut keduanya, yaitu concruent dan sandwich. Keduanya berjalan dengan baik dan tidak ada keluhan pada masyarakat pemakai. Bila ditemukan bahwa guru baru punya kelemahan, maka sekolah siap untuk membantu menghilangkan kelemahan mereka dengan menjalankan program bantuan bagi guru pemula. Mereka tidak membiarkan guru baru menjadi terisolir, tetapi merangkul dengan pembinaan yang profesional. Kepala sekolah bertanggungjawab terhadap kualitas para gurunya, tidak hanya guru junior, tetapi semua guru, termasuk guru lama. Dengan demikian, kelemahan guru tidak membuat LPTK asalnya dipersalahkan.
 
Para guru di sekolah kita akan profesional bila ia ditempatkan pada sekolah yang baik, dengan kepala sekolah yang profesional dan fasilitas yang cukup. Di sekolah-sekolah kita situasinya tentu tidak serupa. Para guru baru yang berkualitas bila bertugas di sekolah yang tidak terkelola dengan baik, akan menjadi guru yang tidak profesional.
 
Di Amerika Serikat, Inggris, dan New Zealand ada persamaan kualitas calon guru. Mereka yang memilih pendidikan guru berasal dari tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan juga ada dari kalangan lulusan menengah kebawah. Namun, input yang kurang setelah diberikan proses pendidikan yang berkualitas, maka outputnya akan baik. Hampir tidak terdengar keluhan masyarakat yang mengatakan guru-guru mereka tidak berkualitas. Mereka semua menganut dan menjadi bagian dari Continuous Professional Development (CPD). Sesungguhnya, Apapun profesi seseorang, kualitas kinerjanya tergantung dari pembinaan lembaga. Tidak ada sekolah yang mampu mendidik mahasiswa yang dapat bertahan profesional sepanjang karirnya. Teknologi berkembang dengan cepat dan guru pun harus ikut dengan perubahan tersebut. Manajemen sekolah yang tidak mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan perubahan akan menjadi ketinggalan.
 
Tentu ini sangat berkaitan dengan peremajaan fasilitas yang memang mahal. Misalnya, masyarakat kita digiring kepada pengertian sekolah gratis, padahal pemerintah hanya punya target untuk memenuhi kebutuhan minimal (Standar Pelayanan Minimal). Bila tidak ada iuran masyarakat yang mampu untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, maka hampir dipastikan prestasi anak-anak tersebut berada pada kondisi minimal. Yang menjadi kesalahan adalah adanya masyarakat yang tidak mampu, namun harus membayar biaya pendidikan di atas kemampuannya.
 
Proses pendidikan guru di LPTK memang perlu diperkuat. Identik dengan kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang tidak dipahami oleh para aktor (guru) sehingga ada yang mengatakan bahwa hampir tidak ada kebijakan pendidikan nasional yang jalan. Implementasi kebijakan pendidikan memerlukan proses sosialisasi dan waktu yang cukup untuk dapat sampai pada pemahaman guru. Setiap kebijakan pendidikan yang baru tentu bermaksud meningkatkan mutu, namun kita memerlukan mediator yang mampu merancang skenario yang mampu menerjemahkan kebijakan menjadi pedoman pelaksanaan.
 
Belakangan kita melihat kenyataan bahwa lembaga pendidikan guru dibanjiri calon guru. Alasan mereka sederhana yaitu peluang untuk diangkat menjadi guru lebih besar. Kita belum sampai pada pembicaraan bahwa guru adalah profesi yang membutuhkan bakat untuk bisa sampai pada pentingnya jabatan guru sebagai pengabdian. Untuk memperolehnya diperlukan manajemen dan leadership sekolah lebih penting dalam rangka memelihara profesionalitas guru.
 
Selain itu, setiap saat para guru memerlukan program “peningkatan profesional berkelanjutan” dalam merespon perubahan ilmu dan teknologi yang selalu berubah dengan pesat. Semua aktor pendidikan harus berpikir positif dalam menerima perubahan. Jangan menghindari, karena nantinya akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri. Setiap guru harus bertanggungjawab untuk menjadi guru yang profesional tanpa menunggu adanya penataran atau bimbingan.
 
Di samping itu juga diperlukan kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional dan perguruan tinggi LPTK yang lebih baik sebagai lahan pengabdian masyarakat para dosen. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak dosen tidak punya record yang cukup dalam dharma pengabdian masyarakat karena kurang terbukanya kerjasama perguruan tinggi dan sekolah. Keahlian dalam bidang pendidikan tidak cukup hanya pada penguasaan teoretis, tetapi harus mampu menyelesaikan masalah nyata di sekolah. Prodi dan dosen harus mengisi kekurangan ini dengan penugasan kepada mahasiswa untuk mendalami teori belajar dan mengajar serta psikologi pendidikan. Tanpa teori, mustahil LPTK berhasil mendidik guru profesional sesuai dengan cita-cita pembaruan PPG.
 

Penulis adalah dosen Fakultas Teknik (FT) UNP

Sumber : http://ganto.web.id