STRESSPASCATRAUMA

 

Oleh, Felix Lengkong, PhD.
STRESS PASCATRAUMA

“Akan kubanting anakku ke tanah”. Demikian diakui Irene (bukan nama sebenarnya) dalam salah satu sesi terapi. Ibu muda yang masih sekolah itu berkisah. Suatu sore, putera tunggalnya yang masih bayi merengek tanpa sebab yang jelas.

Irene, yang sibuk dan tertekan oleh berbagai peran yang terpaksa harus dijalaninya, menjadi sangat marah terhadap anak yang dilahirkannya sendiri. Ia merengut anak itu dari tempat tidur dan bersiap untuk membantingnya ke lantai. Untunglah, orang-orang serumah cepat menyadarkannya dari tindakan bodoh.

 

Presenting problem

Seperti klien lainnya, Irene menghubungi konselor/terapis karena suatu alasan tertentu yang sebenarnya merupakan presenting problem. Pada sesi pertama, Irene yang berkulit putih dan berperas cantik dengan sinar mata nanar itu mengeluh tentang relasi yang kurang harmonis dengan geng seperumahannya.

 


Sambil mengkonseling Irene tentang presenting problem-nya dengan menggunakan solution focus counseling (jalan keluar terhadap masalah permukaan) yang menekankan pentingnya faktor the here and now (pengalaman psikososial terkini), konselor menyelidik ke peristiwa-peristiwa masalah lalu yang mungkin dialami klien. Selidikan ke masa lalu mendapatkan alasan dari kenyataan bahwa setelah jalan keluar (solution) terhadap masalah ketidakharmonisan relasi dengan teman, klien belum menampakkan kelegaan. Kelegaan biasanya diujartuturkan dengan pernyataan: “Nah, itu dia.” Dan dibarengi dengan sunggingan senyum.

Menyadari sesuatu yang masih mengganjal di benak Irene, konselor menjadwalkan sesi-sesi tambahan. Dengan demikian, sesi pertama menjadi semacam intake interview untuk mendapatkan gambaran konteks permasalahan klien.

 

Akar permasalahan

Tentang perilaku atau masalah psikis lainnya, banyak konselor dan terapis percaya akan kebenaran pepatah “The childhood shows the man as morning shows the day” seperti dikutip J.W. Santrock (1998) dalam buku pegangan Child Development. Permasalahan kini dan di sini berhubungan dengan peristiwa dulu dan di sana.

Menelisik akar permasalahan psikis Irene, konselor menelusuri sejarah hidup yang pada awal mula sungkan ia kisahkan secara jujur. Ada sesuatu yang ingin ia simpan. Sesuai dengan status sosial Irene sekarang ini, konselor membagi sejarah hidupnya dalam empat kategori. Irene sebagai siswa, usahawati, ibu (seorang anak), dan ‘istri’. Keempat kategori yang dipandang sebagai stressor (sumber stres) ini ditelusuri dan ditelaah berdasarkan sub-kategori perilaku, emosi, dan proses kognitif.

Singkat cerita, Irene yang masih duduk di kelas 12 (kelas III SMA) mengalami kesulitan relasi dengan sesama anggota gengnya. Ia bingung dan kesal terhadap mereka yang tampak “iri” karena Irene telah sadar. Ia sadar bahwa ia tidak pantas menjadi anak gaul yang lebih banyak berhura-hura daripada belajar. Sikap iri mereka membuat Irene bingung.

Selanjutnya, kendati orangtuanya berkecukupan, Irene sebagai anak sulung (tiga adik) dan telah berkeluarga sadar bahwa ia harus mandiri secara ekonomi. Saat ini ia sedang memproses lamaran ke sebuah perusahaan internasional. Kebetulan ia mahir berbahasa Inggris. Ia yang beribu keturunan Belanda pernah tinggal di luar negeri bersama dengan neneknya.

Sebelumnya ia menjalankan usaha sendiri dengan bantuan orang tuanya. Tidak ada masalah berarti dalam kaitan dengan usaha dan kerjanya kecuali stres akibat kesibukan.

Ketika konselor menyinggung ‘status sosial’ ketiga dan keempat, emosi Irene lebih menampakkan kesedihan, kekesalan, dan amarah. Ia menangis setelah berkata: “Saya malu menangis.” Ia menangis sejadi-jadinya setelah konselor menjamin bahwa tangis adalah bagian dari katarsis yang merupakan unsur penyembuhan (therapeutic factor).

Setelah beberapa saat menangis, Irene bercerita tentang keadaannya sebagai ibu muda. Ia mempunyai bayi yang sekarang ini diperebutkan antara dia (bersama keluarganya) dan ‘suami’ (bersama keluarga). Menghadapi ancaman keluarga suami yang akan menculik anak itu, Irene bingung dan takut. Kendati anak itu dikandung melalui proses di luar nikah, Irene secara moral menimbang perlu mempertahankan anaknya. Selagi janin, bayi itu dipaksa suami untuk digugurkan. Kendati secara hukum terjamin bahwa Irene lebih berhak atas anaknya, secara emosi ia tetap cemas bahwa suatu waktu anak itu akan berpindah tangan.

Tentang ‘status sosial’ keempat, Irene pada mulanya kurang terbuka. Setelah dengan sabar melakukan cross check tentang data-data yang dituturkan Irene dalam beberapa sesi berbeda diperolehlah keterangan berikut. Saat berpacaran dengan teman kelasnya, Irene diperkenalkan oleh teman sekolahnya kepada pemuda dari sekolah lain dan berasal dari keluarga mapan.

 

Masalah utama

Singkat cerita, Irene dikawinkan dengan anak muda itu setelah diketahui hamil. ‘Kawin paksa’ dengan orang yang tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya malah menghasilkan perkawinan gonjang-ganjing disertai kekerasan fisik dalam rumah tangga. Sudah tidak memberikan tunjangan finansial bagi ‘istri’ dan anaknya, pada awalnya pemuda itu tidak mengakui bahwa anak itu lahir dari spermanya.

Tentang ‘perkawinan’ dan ‘suami’, Irene bertanya: “Harus saya apakan perkawinan ini?” Kenyataannya sudah beberapa bulan suami yang pernah menggauli beberapa gadis ini tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Irene sendiri tidak tahu di mana pria yang pengangguran itu tinggal.

Sebelum mengetahui jawaban Irene atas pertanyaannya sendiri, ada baiknya pembaca mengetahui masalah klinis yang dialami Irene. Sesuai Daniel Meichenbaum (1994) dalam buku A Clinical Handbook: Practical Therapist Manual for Assessing and Treating Adults with PSTD, simtom-simtom yang diderita Irene memenuhi kriteria yang dapat dikategorikan sebagai posttraumatic stress disorder (PTSD) atau stres parcatrauma.

Kriteria utama adalah adanya sebuah trauma atau peristiwa yang secara obyektif menyebabkan terjadinya trauma psikis. Peristiwa tersebut adalah perkenalan dan pergaulan, termasuk segala eksesnya seperti kehamilan di luar nikah merupakan peristiwa traumatis. Para psikolog klinis sekarang ini yakin bahwa ada sejumlah faktor subyektif (internal) yang juga berkontribusi langsung pada kemunculan stres pascatrauma. Kendati faktor-faktor ini dipertimbangkan dalam proses terapi, penulis tidak perlu menguraikannya dalam tulisan ini.

 

Tiga simtom utama dan comorbidity

Derita stres pascatrauma yang dialami Irene muncul dalam tiga simtom berikut. Pertama, Irene mengalami re-experiencing seperti mengingat dan mengenang kembali peristiwa menyakitkan. Kenangan dan ingatan kembali selalu mengganggu pikiran Irene. Ia sakit hati jika teringat kembali semua yang berhubungan dengan ‘suami’-nya. Begitu sakit hatinya sehingga ia sering mengalami chest pain (sakit di dada) yang merupakan ekspresi psikosomatis. Ia juga sering mengalami migraine. Ingatan kembali begitu mengganggu sehingga ia mengalami halusinasi sekaligus delusi. Demi untuk menyamarkan klien, dipandang perlu untuk tidak melukiskan bentuk halusinasi dan delusi Irene. Secara klinis, dengan halusinasi dan delusi selama sebulan, orang sudah dapat dikategorikan schizophrenic alias gila.

‘Suami’ ditulis dalam tanda petik tunggal karena Irene tidak tegas mengatakan pemuda itu suaminya. “Kami hanya kawin siri karena berlainan agama,” kata wanita Katolik ini. Perkawinan dilakukan hanya untuk meresmikan adanya bapak biologis dari si bayi.

Sering simtom re-experiencing itu disebabkan oleh keberadaan trigger (pemicu), segala sesuatu yang dapat dihubungkan atau diasosiasikan dengan figur suami itu. Yang paling parah dalam kasus Irene adalah putera tunggalnya sering menjadi pemicu re-experiencing. Kebetulan wajah bayi itu secara fisik mirip pemuda yang mengamilinya.

Itulah sebabnya, saat anak itu merengek atau menangis, Irene sering naik pitam dan gemas untuk mencekik lehar anak itu atau membanting anak itu. “Pada wajah anak itu selalu kulihat wajah lelaki itu,” kata Irene sambil menangis. “Padahal aku sayang anak itu,” katanya sambil menggelengkan kepala. Ia bingung, mengapa demikian?

Sebenarnya, dalam konteks PTSD, perilaku Irene itu merupakan konsekuensi alamiah dari re-experiencing yang menyakitkan. Setiap klien akan melakukan avoidance alias menghindarkan diri dari kenangan pahit dan mengganggu. Anak itu menjadi trigger sehingga anak itu harus disingkirkan agar kenangan pahit itu lenyap. Begitulah salah satu proses kognitif Irene saat mengalami re-experiencing. Masih ada lagi banyak bentuk avoidance yang dilakukan/dialami Irene seperti gangguan tidur alias insomnia.

Avoidance terparah yang dialami Irene terletak pada mekanisme kognitifnya, di mana ia ‘sengaja’ melupakan peristiwa perkenalan dan proses pacarannya. Dalam kontex klinis, Iren mengalami partial amnesia, sama sekali lupa akan segala informasi pada satu periode waktu tertentu. Akibatnya, ia tidak tahu mengapa ia sampai berkenalan dan hamil oleh pemuda itu. “Saya diguna-gunai-nya,” katanya yakin.

Avoidance ini selalu disertai dengan hyper-arousal, reaksi berlebihan berupa amarah amat sangat (terhadap anak itu), gangguan tidur (akibatnya mata memerah), dan kesulitan berkonsentrasi. Irene juga tampak bengong (berpandangan hampa).

Keadaan Irene diperparah dengan adanya commorbidity atau gejala tambahan yang menyertai simtom utama. Selain halusinasi dan delusi akibat depresi atau stres berlebihan, ia mempunyai suicidal ideation (pikiran atau keinginan untuk bunuh diri). Commorbidity yang lain adalah ketergantungannya pada obat penenang yang diberikan oleh psikiater yang lebih mengutamakan chemotherapy (penyembuhan dengan obat) daripada psikoterapi.

 

Cognitive-behavioral therapy

Menghadapi kasus seberat yang dihadapi Irene, sebagaimana yang diusulkan M.J. Scott dan St. G. Stradling (2001) dalam buku Counselling for Post-traumatic Stress Disorder, konselor menggunakan terapi kognitif-behavioral yang bertujuan mengubah proses-proses kognitif negatif dalam diri Irene disertai dengan latihan-latihan. Proses kognitif yang diterapi itu berkaitan dengan ketiga simtom utama.

Menimbang tingginya kemendesakan untuk mengatasi suicidal ideation yang disampaikan klien di akhir suatu sesi, konselor membuat jalan pintas: “Jika muncul dorongan untuk bunuh diri, berusahalah mengingat saya.” Tentu nasihat ini berbahaya karena bisa mengakibatkan ketergantungan pada konselor. Rupanya, nasihat itu berhasil untuk sementara. “Minggu lalu, saat terpikir untuk bunuh diri, saya berusaha ingat wajah bapak dan saya menjadi tenang,” kata klien tersenyum malu.

Setelah memberi ‘resep’ (untuk suicidal ideation) yang tidak berisiko ketergantungan, terapi dilanjutkan untuk mengatasi tiga simtom utama sekaligus proses-proses kognitif yang negatif. Kendati demikian, Irene telah memutuskan untuk pisah selamanya dari lelaki yang menghamilinya (Adapted from HIDUP, September 30,2007)

Penulis adalah dosen Bimbingan Konseling Unika Atma Jaya, Jakarta dan psikolog klinis di Pusat Layanan Konseling Atma Jaya

Sumber : http://www.atmajaya.ac.id